PERBANKKAN

Tinjauan Kritis Produk Wadiah dalam Perbankkan Syariah


Perbankkan Syariah yang mustinya telah melewati verifikasi syariah, kenyataannya cukup rancu. Di antara produk Syariah yang buram, sarat kepentingan kapitalistik dan sulit ditemukan dasar hukumnya di fikih, adalah praktik produk Giro Wadiah dan Tabungan Wadiah.
Oleh:
Di Indonesia, Islam merupakan agama yang penganutnya cukup besar, sampai-sampai umat Islam sendiri menjadi penduduk mayoritas dan kian meningkat jumlahnya di negeri ini. Sehingga telah menjadi kebutuhan adanya pengupayaan fasilitas sarana dan prasarana dalam melaksanakan aktifitas beribadahnya. Tentu, termasuk di dalamnya terkait dengan muamalah.
Di antara muamalah yang cukup penting di era dewasa sekarang ini adalah keamanan, kenyamanan, serta kepastian hukum dalam menitipkan uang dan/ataupun mencari pinjaman dana, yang di dalam hal ini bank. Ini melihat, bank-bank yang ada di Indonesia masih di dominasi bank-bank konvensional yang terdapat kecenderungan riba.
Meskipun bank-bank Syariah sekarang semakin tumbuh di negeri ini, namun dalam praktiknya pun terkesan memplagiasi prinsip riba bank konvensional, yang hanya diubah kebahasaannya saja menggunakan bahasa Arab. Ironisnya lagi, di lapangan juga seringkali terdengar adanya penipuan dari bank Syariah.
Bank Syariah yang mustinya telah melewati verifikasi syariah, kenyataannya cukup rancu. Di antara produk Syariah yang buram, sarat kepentingan kapitalistik dan sulit ditemukan dasar hukumnya secara fikih, adalah produk Giro dan Tabungan Syariah.
Pada prinsipnya, landasan kedua produk ini benar menurut fikih karena berlandaskan wadiah. Hanya saja, dalam implementasinya bank Syariah menerapkan prinsip wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Terkait dengan kedua produk tersebut, dalam pelaksanaannya perbankkan Syariah lebih menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah. Padahal, akad wadiah yad dhamanah secara nama tidak ditemukan dalam literatur fikih klasik dan apabila dibedah prinsip ini ditemukan dua akad yang sifatnya bertentangan namun dipaksakan difusikan, yaitu akad wadiah dan qard.
Adanya unsur dua akad dalam prinsip wadiah yad dhamanah, karena di dalam praktiknya baik produk Giro Wadiah ataupun Tabungan Wadiah, bank meminta pihak penitip (nasabah) memberikan kewenangan kepada pihak bank untuk mengelola titipan/asetnya, dan bank memiliki hak penuh atas hasil  yang diperoleh dari pemanfaatan titipan nasabah, yang dengan kata lain bank tidak dikenai tanggungjawab (kewajiban) membagi hasilnya.
Padahal, secara asal di dalam prinsip wadiah, pemanfaatan suatu titipan dalam bentuk apapun hukumnya terlarang, karena apabila telah ada unsur penggunaan oleh pihak yang dititipi maka akadnya pun berubah. Di dalam fikih, yang demikian dikatakan sebagai prinsip pinjam-meminjam (qard).
Melalui sekilas gambaran seputar prinsip wadiah yad dhamanah yang di dalamnya terkandung unsur wadiah dan qard, namun lebih layak berlandaskan qard, lebih detailnya akan dijelaskan perbedaan antara wadiah dan qard secara prinsipil.
Wadiah dan Qard
Wadiah pada prinsipnya adalah membantu pihak penitip, dan pihak yang dititipi posisisnya sebagai pihak penolong. Karena itulah, sifat dari wadiah adalah amanah.
Semisal ada seseorang yang akan bepergian ke luar kota dengan meninggalkan harta-benda di rumahnya yang tak lagi ada orang. Karena merasa tidak mampu menjaga harta miliknya, ia pun memerlukan orang lain untuk menjaga harta kepunyaannya. Ia kemudian meminta tolong kepada salah seorang tetangganya untuk menjaga harta miliknya dengan cara menitipkan kepadanya. Dalam kasus ini,penitip meminta pertolongan dan pihak yang dititipi memberi bantuan. Oleh karena itu, pihak yang dititipi tidak dibebankan (tidak diwajiban) untuk menjamin harta benda yang dititipkan kepadanya apabila nantinya terjadi kerusakan atau kehilangan terhadap barang titipan tersebut yang bukan karena keteledorannya.
Sebaliknya dengan hutang piutang atau pinjam meminjami (qard), karena qard memiliki prinsip membantu pihak yang dipinjami dengan pihak yang meminjami posisinya sebagai penolong. Perumpamannya ada seseorang yang tidak memiliki kendaraan. Suatu ketika, karena suatu hal dirinya ada keperluan mendadak atau mendesak yang menuntut adanya alat transportasi. Ia pun meminjam kendaraan pada temannya.
Dalam kasus hutang-piutang atau pinjam-meminjam ini, peminjam meminta pertolongan dan pihak yang dipinjami memberi bantuan. Oleh karenanya, pihak peminjam dikenai kewajiban untuk menjamin harta benda atau barang yang dipinjamnya dengan harta benda miliknya pribadi ketika terjadi kerusakan atau kehilangan terhadap barang pinjaman tersebut.
Melalui perbedaan mendasar dari qard dan wadiah ini, keduanya memiliki kesamaan apabila pihak penolong tidak diperkenankan mencari keuntungan melalui barang yang dipinjamkan kepada orang lain atau yang dititipkan oleh orang lain.
Hukum Penggabungan Akad Wadi’ah dan Qardh
Melaui pemaparan di atas nampak bahwasanya perbankan Syari’ah dalam prakteknya menggunakan prinsip wadiah yad dhamanahdalam produk Giro Wadiah dan Tabungan Wadiah yang di dalamnya terkandung dua unsur akad, yaitu wadiah dan qard. Hanya saja dalam penamaannya pihak bank menggunakan istilah akad wadiah yad dhamanah dengan tanpa memasukkan nama qard di dalam nama transaksinya. Hal ini tentunya menimbulkan tumpang tindih, karena ada dua jenis wadiah dan qard yang mempunyai maksud bertolak belakang dalam satu akad. Lantas, bagaimana hukum menggabungkan dua akad ini?
Lebih lanjut, pada dasarnya dalam kaidah fikih sendiri lebih melihat pada tekhnisnya bukan nama. Meskipun nama akad sesuai dengan fikih namun apabila di dalam prakteknya terdapat unsur lain yang bertolak belakang maka nama yang digunakan tersebut bukan termasuk yang ada di fikih. Penggabungan dua unsur qard dan wadiah, misalnya.
Dalam kaidah fikih dikatakan, bahwasanya akad-akad muamalah, itu ditinjau dari hakekat dan tujuannya, bukan sebatas pada kata-kata/ lafadz yang dipakai dalam akad-akadnya. Bukan sebaliknya, meskipun nama akadnya serupa dengan suatu istilah yang ada di dalam fikih namun apabila pada prakteknya berbeda maka konsekuensi hukumnya pun menjadi tidak sama (berubah).
Perihal ketidakmungkinan adanya pencampuran unsur wadiah dengan qard, karena titipan wadiah itu akadnya tabaru yang sekali-kali tidak akan berubah menjadi tijari (komersial/keuntungan). Dengan demikian, wadiah yad dhamanah dalam transaksi perbankan Syariah tidaklah menggunakan akad wadiah sebagaimana dalam fikih karena terdapat unsur komersialisasi titipan oleh pihak bank. Jika demikian, wadiah yad dhamanah ditinjau dari fikih bisa dikategorikan qard.
Landasan Hukum Prinsip Wadiah Yad Dhamanah Perbankan Syariah
Problem perihal praktek perbankan Syariah yang tidak sesuai dengan fikih Islam ini, ditinjau dari ‘illah atau sebab terjadinya transaksi, dikarenakan adanya perbedaan motif antara bank Syariah dengan fikih itu sendiri. Apabila fikih Islam motifnya murni sosial sedangkan bank Syariah motifnya ekonomi.
Bank Syariah dalam hal ini menggunakan dasar hukum hadits nabi yang diriwayatkan dari Abu Rafie, bahwa Rasulullah Saw pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberinya unta korban (sekitar berusia dua tahuan). Setelah selang beberapa waktu, Rasulullah Saw memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali menghadap Rasulullah Saw seraya berkata, “Ya, Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan. Adanya hanya unta yang lebih besar dan berumur empat tahun.” Mendengar apa yang disampaikan Abu Rafie, Rasulullah Saw lantas menjawab, “Berikanlah itu, karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (HR. Muslim)
Apabila dicermati, hadits nabi di atas sebenarnya tidaklah tepat dijadikan sebagai dasar hukum untuk wadiah, karena apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw tersebut ditujukan untuk pinjam-meminjam atau hutang-piutang (qard), bukan wadiah.
Hal ini bisa ditelaah melalui kata yang dicetak tebal (bold) dan diberi underline. Dengan demikian, cukup jelas bahwasanya hadits Rasulullah Saw ini dimaksudkan sebagai qard.